Header Ads


Awas! Workaholic Lebih Berisiko Mengalami Hal ini!



Majalahqqhoki -Kamu mungkin kenal orang yang seolah tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan di saat liburan yang seharusnya bebas dari tugas, orang-orang semacam ini justru masih saja berkutat dengan laptop, dokumen, ponsel, dan sederet perlengkapan kerja lainnya. Hmm.. atau jangan-jangan, kamu sendiri yang mengalaminya?

Orang-orang yang berada dalam kondisi ini disebut sebagai workaholic. Sepintas, menjadi seorang workaholic apalagi di era modern digital seperti ini terlihat keren. Namun, predikat ini semestinya tidak membuatmu bangga. Pasalnya, studi menunjukkan bahwa kamu justru mengalami risiko gangguan kesehatan mental lebih besar, lho!


1. Tidak hanya menyerang pekerja kantoran

Kalau istilah workaholic dulu ditujukan pada orang-orang yang bekerja di kantor dan kerap lembur lalu kembali bekerja pagi-pagi sekali, kini cakupannya lebih luas. Kamu yang seorang freelancer atau remote worker juga bisa menjadi seorang workaholic. Bahkan lantaran tidak adanya batasan jam kerja, kecenderungan untuk kerja terus menerus pun jadi lebih besar.


2. Keterkaitan antara kerja terus menerus dan kesehatan mental

Riset pun dilakukan untuk mengetahui korelasi antara seorang workaholic dengan kesehatan mental yang dimilikinya. Tim peneliti internasional dari University of Bergen (Norwegia), Nottingham Trent University (UK), dan Yale University (US) yang dipimpin oleh Cecille Schou Andreassen menguji data dari 16.426 orang dewasa yang telah bekerja. Hasilnya, benar ditemukan adanya kesesuaian antara gila kerja dan gangguan mental seperti berikut.

- Sebanyak 32,7 persen workaholic memenuhi kriteria ADHD dibandingkan 12,7 persen non-workaholic.
- Sebanyak 25,6 persen workaholic memenuhi kriteria OCD dibandingkan 8,7 persen non-workaholic.
- Sebanyak 33,8 persen workaholic memenuhi kriteria gangguan kecemasan dibandingkan 11,9 persen non-workaholic.
- Sebanyak 8,9 persen workaholic memenuhi kriteria depresi dibandingkan 2,6 persen non-workaholic.


3. Belum jelas mana yang memengaruhi apa

Sayangnya, studi belum menemukan dengan jelas apakah gila kerja yang membuat seseorang kemudian mengalami gangguan kesehatan mental atau justru adanya tekanan emosi yang lantas membuat seseorang menjadi workaholic sebagai pelampiasan. Walau begitu, tetap saja, kondisi ini tidak menyehatkan dan perlu untuk segera ditangani.


4. Tuntutan budaya lingkungan sekitar

Meski secara umum belum diketahui pasti kondisi mana yang menjadi pemicu bagi kondisi lainnya, peneliti mengemukakan dugaan. Melihat budaya di masyarakat yang kerap memberikan pujian atau penghargaan kepada orang-orang yang dianggap bekerja cukup keras, maka hal tersebut sangat mungkin menjadi pemicu seseorang kemudian merasa terbebani bila melakukan kesalahan dalam pekerjaannya. Dampaknya, pekerjaan selalu menjadi prioritas dan tanpa disadari menimbulkan kecemasan.


5. Faktanya, gila kerja tidak berhubungan dengan performansi kerja

Kalau mengira sebagai workaholic artinya kamu sangat berkompeten dan menjadi yang terbaik di bidangmu, salah besar. Sebuah studi lain menunjukkan bahwa ternyata gila kerja tidak memiliki korelasi dengan kemampuan maupun performansi kinerja.

Bekerja terus-terusan dalam bidang terebut tidak lantas membuatmu menjadi profesional dalam hal tersebut. Yang lebih sedih, selain mengabaikan kehidupan di luar kerja dan tidak serta merta menjadikanmu berkompeten, workaholic juga rupanya mengalami berbagai emosi negatif lebih banyak, dibandingkan mereka yang memiliki hidup seimbang.


6. Membedakan giat kerja dan gila kerja

Pada dasarnya, ada perbedaan yang cukup besar antara giat bekerja dan gila kerja. Sebelum buru-buru membuat kesimpulan, coba perhatikan apakah tujuh hal berikut ada pada dirimu. Kalau ya, artinya kamu memang benar seorang workaholic.

- Kamu merasa bahwa waktu untuk bekerja tidak pernah cukup.
- Kamu menghabiskan waktu untuk bekerja lebih banyak dari yang diniatkan.
- Kamu bekerja untuk mengurangi rasa bersalah, cemas, tidak berguna, depresi, dan sebagainya.
- Orang-orang di sekelilingmu kerap memintamu untuk mengurangi waktu bekerja, tetapi tidak pernah kamu gubris.
- Kamu menjadi stres bila dilarang untuk bekerja.
- Kamu tidak menempatkan hobi, olahraga, atau kegiatan lainnya sebagai prioritas selain bekerja,
- Kamu bekerja terlalu banyak dan sering sehingga memengaruhi kesehatanmu, disadari maupun tidak.


7. Saatnya mengambil jeda

Kalau kamu memang terbukti seorang workaholic, kini saatnya untuk berhenti dan mengambil jeda dari rutinitas. Cobalah untuk kembali menyisihkan waktu bersama dengan orang-orang tersayang dan melakukan hal-hal yang ingin dilakukan.

Pasalnya, berada dalam kondisi gila kerja dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan risiko yang sama sekali tidak sepadan dengan 'dedikasi'mu. Kalau kamu merasa berat untuk memulai dan melakukannya, jangan malu untuk minta pertolongan dengan orang yang kamu percaya dan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Ingat, kamu tidak sendiri.

Bagaimanapun, hidup bukan melulu soal kerjaan. Karena hidup hanya sekali dan banyak hal-hal mengagumkan lain yang bisa kamu nikmati, kenapa harus terus-menerus berkutat dalam hal yang sama? Yuk, mulai hidup seimbang!




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.