Header Ads


Brexit Dinilai Jadi Bentuk Pemberontakan Anti-Elite di Inggris



Mancanegara, London - Hasil referendum Brexit yang berujung pada bercerainya Inggris dari Uni Eropa, dinilai menjadi bentuk ketidakpercayaan rakyat pada elite pemerintahan. Kebanyakan warga yang memilih keluar, berasal dari kalangan miskin dan kurang berpendidikan di Inggris.

Disebutkan para pengamat politik dan sosial, seperti dilansir AFP, Sabtu (25/6/2016), warga Inggris yang memilih keluar Uni Eropa merupakan warga yang mengalami dampak paling parah dari krisis ekonomi dan warga yang posisi ekonominya memicu kekhawatiran besar atas meningkatnya jumlah imigran.

"Saya melihat pola yang sama, ke mana saja saya melihat. Perpecahan demografi di dalam wilayah Inggris, sama persis setiap kategorinya dengan perpecahan demografi di antara pemilih Amerika saat pemilihan presiden," sebut peneliti senior dari Brookings Instituion yang berbasis di Amerika Serikat (AS), William Galston.

Wilayah pedesaan dengan angka pekerja migran yang tinggi, bekas kawasan pusat industri dan wilayah miskin yang dikelilingi kota-kota, serta mereka yang tidak mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi juga mereka yang berusia lebih tua, termasuk dalam kubu 51,9 persen yang ingin Inggris keluar.

Galston menyebut, situasi demografi yang sama mendukung capres kontroversial AS Donald Trump. Di Eropa, kelompok euroskeptis dan sayap kanan jauh menikmati dukungan luas warga dari golongan tersebut. "Mereka tidak percaya pada elite politik karena hingga sekarang mereka tidak melihat adanya partai politik yang memahami ketidakpuasan mereka dan menanggapinya," ucap Galston.

Galston menambahkan, dirinya tidak mengharapkan kekuatan yang sama akan menang di AS, sama seperti saat referendum Brexit pada Kamis, 23 Juni kemarin. Sedangkan pakar politik dari Go-Governance Institute yang berbasis di Wina, Austria, Melanie Sully memperingatkan, Eropa sedang menghadapi krisis demokrasi yang berpotensi dimanfaatkan oleh kalangan xenofobia dan kelompok sayap kanan jauh.

"Jika Anda tidak memiliki kepercayaan dalam politik, sama saja seperti lubang hitam yang bergerak masuk dan menyedot situasi dan membangun diri demi melanggengkan kebohongan mereka," sebut Sully kepada AFP.

Para pengamat menyebut ada dua pemicu utama dalam meningkatnya ketidakpercayaan rakyat pada elite pemerintah, yakni krisis ekonomi tahun 2008-2009 dan krisis pengungsi. "Orang-orang ini merasa rapuh secara ekonomi, dan ketika Anda menempatkan ketakutan demografi di atas kerapuhan ekonomi, inilah yang Anda dapat," ucap Galston.

Banyak kalangan muda di Inggris yang memilih tetap bergabung Uni Eropa, merasa marah pada banyaknya kalangan tua yang mendukung Inggris keluar Uni Eropa. Pakar sosiologi pada Universitas Siegen di Jerman, Tetiana Havlin, menyebut kebanyakan kalangan tua awalnya melihat Uni Eropa sebagai sumber keamanan dan stabilitas ketika Inggris bergabung dengan blok negara Eropa itu tahun 1873 silam, saat era kemakmuran. Kini ketika mereka beranjak tua, mereka merasakan ketegangan dan perasaan tidak aman dengan meningkatnya ancaman di perbatasan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.